Untuk jangka waktu trading, saya telah mencoba berbagai alternatif – mulai dari per-jam, harian, mingguan, hingga bulanan. Akhirnya, pilihan jatuh pada jangka waktu mingguan. Mari kita bahas semua alternatif yang telah digunakan. Ini agar pembaca dapat mengetahui bagaimana alurnya hingga akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan jangka waktu mingguan untuk trading. Pertama, mari kita lihat jangka waktu per-jam.
Jangka waktu ini saya gunakan di awal berkecimpung dalam bursa saham. Kebetulan saat itu memang sedang dalam tren naik (Bullish) yang kuat. Tidak heran kalo akhirnya saya dapat menangguk untung yang lumayan — portofolio saya bertambah hingga 50% dalam waktu enam bulan. Sebuah hasil yang fantastis bukan? Hasil ini bahkan membuat saya mulai berpikir untuk terjun menjadi trader professional atau full time trader.
Untungnya tidak jadi, karena beberapa saat kemudian, semua keuntungan tersebut habis dalam jangka waktu tiga bulan. Hanya tersisa modal saja (untungnya). Ini karena saat itu saham sedang dalam tren turun (Bearish). Saya juga cukup sibuk mengurusi kerjaan. Jadi saya tidak terlalu memperhatikan chart. Saya beli, lalu baru lihat beberapa jam kemudian. Eh, ternyata harga saham turun terus. Sedikit memang kerugiannya, tapi karena berulang terus ya lama-lama banyak juga.
Setelah itu, saya coba pake jangka waktu harian. Jangka waktu ini tampaknya tepat saat itu karena tidak perlu memonitor terus pergerakan saham. Cukup luangkan waktu untuk menganalisa pada malam hari, setelah pasar tutup. Kerjaan tidak terbengkalai, trading saham tetap berlangsung. Namun, ternyata hasilnya juga tidak terlalu menggembirakan. Sering terjadi salah prediksi. Prediksinya harga naik, eh malah turun, dan sebaliknya.
Memang sih ada untung juga, tapi kalo ditotal-total akhirnya malah impas. Modal pun tidak berkembang. Buat apa trading jika seperti ini bukan? Namun saya tidak putus asa. Saya yakin bahwa bisnis saham itu menguntungkan, hanya saja saya belum memukan caranya. Itu saja. Akhirnya setelah beberapa saat belajar kembali, ada satu hal yang saya sadari. Semakin pendek jangka waktu yang digunakan semakin sulit memprediksi pergerakan saham.
Dengan kata lain, jika kita memperpanjang jangka waktu, akan semakin mudah meprediksi pergerakan saham alias tingkat kesalahannya semakin kecil. Berdasarkan hal inilah saya mencoba menggunakan jangka waktu mingguan. Keuntungan berbisnis saham pun kembali mengalir. Bahkan rekor keuntungan 50% dalam enam bulan pun berhasil terpecahkan. Portofolio saya dapat berkembang hingga 90% dalam 6 bulan dengan menggunakan jangka waktu mingguan ini.
Namun, sifat serakah menghampiri. Saya berpikir bahwa jika saya memperpanjang lagi jangka waktu menjadi bulanan, niscaya prediksi akan pergerakan saham menjadi lebih tepat lagi. Tentu keuntungan pun akan lebih banyak. Akhirnya saya coba menggunakan jangka waktu bulanan. Dan ternyata keuntungan tidak meningkat seperti yang diharapkan. Ini memang bukan lagi masalah ketepatan prediksi, melainkan lebih karena faktor psikologis.
Saya sering tidak sabar untuk menunggu dalam bulanan untuk merealisasikan keuntungan. Saya juga tidak tahan membiarkan kerugian hingga waktu bulanan. Jadilah sering kejadian merealisasikan keuntungan terlalu cepat dan melakukan cut loss terlambat. Portofoliopun tidak berkembang. Setelahnya, saya memilih untuk kembali menggunakan jangka waktu mingguan yang ternyata memang paling tepat buat profil saya.