Seperti yang telah kita ketahui bersama, kemarin, terjadi eforia beli di Bursa Saham Indonesia (BEI) yang mendorong IHSG naik mendekati 5%. Eforia ini diakibatkan tidak jadinya The Fed memangkas stimulus ekonomi yang dikenal sebagai Quantitative Easing (QE). Asumsi yang dipakai adalah jika terjadi pemangkasan stimulus maka otomatis jumlah uang (dollar) yang beredar akan berkurang. Otomatis uang yang beredar di Bursa Saham Indonesia juga akan berkurang.
Dalam prosesnya, permintaan akan menurun dan penjualan akan meningkat. Sesuai hukum dasar ekonomi – hukum permintaan dan penawaran – maka harga saham akan tertekan turun. Dengan asumsi ini maka para investor telah berlomba-lomba untuk mengamankan dananya dari Bursa Saham Indonesia. Inilah yang menyebabkan turun tajamnya IHSG beberapa bulan ke belakang ini. Tidak heran IHSG langsung naik tajam ketika ternyata pengurangan stimulus tidak terjadi.
Para investor berlomba-lomba untuk menanamkan kembali uangnya di Bursa Saham Indonesia karena kekhawatiran berkurangnya jumlah uang yang beredar ternyata tidak terbukti. Tentu sebagai pebisnis saham kita sangat senang akan kenaikan IHSG kemarin. Kenaikan (Bullish) selalu berarti bahwa kita dapat menjual saham dengan harga yang lebih tinggi. Apalagi jika kenaikan harganya cukup tinggi. Ini berarti kita dapat menangguk keuntungan yang signifikan.
Dengan demikian, banyak kita berpandangan bahwa tidak jadinya pemangkasan stimulus ekonomi di Amerika Serikat adalah kabar baik. Tapi apakah begitu? Menurut saya hal ini adalah kabar buruk. Kabar buruk karena pesan dari tidak jadinya pemangkasan stimulus ini adalah bahwa perekonomian Amerika Serikat belum pulih. Perekonomiannya masih sakit. Masih dibutuhkan alat bantu berupa stimulus untuk menggerakkannya.
Jika kita berpandangan jangka panjang maka kita patut khawatir. Jika terus dibantu oleh stimulus maka lama-lama akan dibutuhkan dosis stimulus lebih besar lagi agar efeknya terasa. Tentu ini berbahaya karena uang negri Paman Sam tidaklah tidak terbatas. Akibatnya bisa fatal, Amerika Serikat (dan juga dunia) akan kembali mengalami krisis (termasuk Bursa Saham Indonesia). Oleh karena itu, sebenarnya, tidak jadinya pemangkasan stimulus ekonomi ini adalah kabar jelek bukan kabar baik.