Rasanya, belum lama BI Rate dinaikkan sebesar 50 basis poin menjadi 7% tapi sudah naik lagi sebesar 25 basis poin menjadi 7.25%. Tampaknya Bank Indonesia bener-bener ngebut memakai kekuasaannya untuk merespon situasi rupiah yang terus melemah terhadap dollar. Seperti yang telah disinggung dalam artikel sebelumnnya bahwa kenaikan BI Rate mempunyai pesan-pesan tertentu. Mengetahui pesan tersebut dapat menolong kita untuk membuat keputusan yang tepat.
Kita telah membahas bahwa pesan dari kenaikan BI Rate itu adalah imbal hasil dari sektor keuangan di Indonesia menjadi lebih bagus (ada kenaikan). Juga biaya untuk kredit konsumsi telah meningkat sehingga diharapkan agar kita menekan pengeluaran untuk hal-hal yang bersifat konsumtif. Diharapkan kita mengalihkan dana pengeluaran menjadi dana untuk investasi di pasar keuangan. Dengan demikian diharapkan inflasi dapat ditekan dan nilai rupiah dapat menguat terhadap dollar.
Tapi, apa lacur, ternyata harapan tinggal harapan. Rupiah masih belum juga menguat terhadap dollar. Memang sih, penurunan nilai rupiah sudah terbatas (bahkan bisa dibilang sudah stabil), tapi tetap saja, harapan agar rupiah menguat belum tercapai. Jadi, Bank Indonesia merasa perlu untuk menaikkan kembali BI Rate agar dapat mencapai target yang telah dicanangkan — penguatan rupiah. Nah, sekarang, mari kita lihat apalagi pesan yang terkandung dalam kenaikan BI Rate.
Pesan lain selain yang telah kita bahas sebelumnnya. Menurutku, pesannya adalah bahwa pemangku kebijakan memilih untuk memprioritaskan penguatan rupiah (atau minimal stabilitas rupiah) dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi (terutama di sektor real). Tidak mengherankan jika partumbuhan ekonomi Indonesia akan menurun beberapa saat kedepan. Ini adalah resiko dari rejim bunga tinggi. Suku bunga kredit usaha akan menjadi tinggi.
Penyaluran kredit usaha tentu akan menurun sebagai akibatnya. Ini akan membuat para pengusaha mengerem ekspansinya. Para calon investor akan menunda investasinya di sektor real dan memilih untuk menginvestasikan uangnya di sektor keuangan. Lalu kenapa Bank Indonesia mengambil kebijakan rejim bunga tinggi? Tampaknya Bank Indonesia berpendapat jika rupiah terus menurun maka pada akhirnya juga akan menghantam sektor real. Sebuah obat pahit yang harus ditelan.
Sebagai pebisnis saham kita harus cermat dalam memilih saham-saham dari perusahaan yang paling tidak terpengaruh dari kenaikan suku bunga ini. Saya sendiri akan memilih perusahaan-perusahaan yang mempunya rasio utang yang rendah (DER yang kecil). Juga perbankan yang akan menikmati kenaikan pendapatan (dengan catatan kredit macet tidak meningkat) sementara perusahaan lain mengalami penurunan pendapatan.
Singkatnya sih kita harus mulai selektif dalam membeli saham.