Rekreasi itu perlu untuk penyegaran. Perlu sebagai cara untuk dapat kembali menjalankan rutinitas dengan ide-ide baru. Demikian juga dalam hal menulis tentang saham. Perlu juga sekali-sekali menulis hal diluar saham agar bisa kembali menulis tentang saham dalam perspektif yang lebih segar. Inilah sedang dilakukan Sekolah Saham dalam artikel ini.
Ini adalah artikel rekreasional yang membahas bukan tentang saham secara khusus. Tapi ya tetap, tidak terlalu menyimpang dari saham sih. Masih cukup erat kaitannya. Kali ini akan dibahas tentang bisnis. Tepatnya tentang kompetisi dalam bisnis. Kompetisi dalam bisnis seharusnya memang dipelihara. Bukan dihilangkan.
Memang sih. Bagi pemilik bisnis enaknya dihilangkan. Tanpa kompetisi dari bisnis sejenis, sepertinya yang didepan mata hanya untung, untung, dan untung. Bayangkan saja. Tanpa kompetisi berarti kita bisa menerapkan harga seenaknya dan juga banyak hal lain seenak udel. Tidak perlu khawatir ditinggalkan ketika menaikkan harga dengan kualitas produk yang seadanya.
Kelihatannya surga banget bukan? Tapi hati-hati. Ini hanya kelihatannya saja. Tanpa kompetisi, lambat laun bisnis itu akan mati dengan sendirinya. Entah karena ditinggalkan pelanggan (karena kualitas benar-benar sudah tidak dapat diterima) atau (pada akhirnya) muncul kompetitor yang (karena terlalu lama tanpa kompetisi) tidak siap dihadapi.
Jadi, secara umum, dapat dikatakan bahwa menutup pintu kompetisi itu sebaiknya jangan pernah menjadi tujuan. Jangan pernah mengandalkan proteksi untuk sebuah bisnis. Percayalah itu adalah awal kematian dari sebuah bisnis — entah mati pelan-pelan atau mati mendadak. Kompetisi adalah sumber utama inovasi.
Dan jelas, tanpa inovasi Bisnis akan stagnan dan akhirnya (pasti) mati. Jadi, menghilangkan kompetisi sama saja dengan mematikan inovasi. Inovasi yang menjadi nyawa sebuah bisnis. Memang dalam jangka pendek, hilangnya kompetitor akan sangat menguntungkan bisnis. Seperti yang sudah dibahas ada paragraf awal.
Namun, dalam jangka panjang, efeknya akan sangat merusak. Untuk lebih jelas melihat jeleknya efek tanpa kompetisi ini (proteksi), mari kita lihat bebrapa contoh. Contohnya adalah PLN (Perusahaan Gas Negara), Telkom (Telekomunikasi Indonesia), dan Pertamina (Perusahaan Minyak Negara.
Perusahan milik negara yang dikenal luas. Sekilas, perusahaan-perusahaan tersebut tidak ada masalah. Perusahaan-perusahaan tersebut tampak terus membesar. Menjadi idaman para pencari kerja tentunya. Tapi jika dilihat lebih teliti. Perusahaan-perusahaan tersebut mengalami efek buruk dari proteksi — atau setidaknya pernah mengalami.
PLN jelas. Kinerja keuangannya buruk. Merugi terus. Padahal jelas benar-benar penguasa tunggal pasar dalam distribusi listrik. Mereka benar-benar bergerak tanpa kompetisi. Tapi kok ya merugi. Itulah efek jelek dari proteksi yang membunuh sesuatu yang penting dari bisnsis. Secara awam saja jelas terlihat ada yang salah pada perusahaan ini.
Sekarang mari lihat Pertamina. Kelihatannya sih baik-baik saja. Bahkan perusahaan ini dapat disebuat salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. Tapi jika dilihat potensinya. Jelas kondisi sekarang tidak baik-baik saja. Harusnya sudah lama meraksasa. Mendunia. Eh, alih-alih meraksasa, malah sama Petronas saja kalah. Jelas ada yang salah. Ini juga karna efek proteksi.
Telkom. Ini perusahaan yang paling mendingan sekarang ini. Tapi coba perhatikan kondisi pasar telekomunikasi. Yup, sudah bukan monopoli lagi seperti yang dulu dinikmati Telkom. Jadi mau nggak mau. Telkom pada akhirnya berinovasi. Namun dapat dilihat juga inovasi yang dilakukan berjalan berat. Ini karena masih tersisa mental tanpa kompetisi dari para punggawanya.
Dari ketiga contoh perusahaan diatas dapat dilihat bahwa ada yang salah. Yang salah adalah inovasi yang mandeg. Manajemen yang tanpa ruh inovasi. Ini membuat bisnis jalan ditempat atau bahkan mundur. Itulah bahayanya bisnis tanpa kompetisi. Jadi, dapat disimpulkan, kompetisi itu memang perlu. Perlu sebagai tenaga pendorong untuk terus berinovasi.