Pernah dengar ujar-ujar “Sell in May and Go Away” bukan? Sangat dikenal luas di seluruh dunia per sahaman. Ini adalah nasehat bahwa sebaiknya kita jangan berada di pasar saham pada bulan mei dan seterusnya (sampai januari?).
Nasehat tersebut keluar pada awalnya karena ada data bahwa setiap bulan mei, bursa saham pada rontok hingga akhirnya bangkit di Januari.
Namun, belakangan ujar-ujar tersebut (seringnya) menjadi tetap benar karena makin banyak orang percaya. Makin banyak orang yang menjual sahamnya pada bulan Mei.
Analisa (ramalan) tersebut menjadi benar bukan karena memang benar. Menjadi benar karena mayoritas orang percaya sehingga melakukan tindakan yang mewujudkan analisa tersebut. Inilah Self Fulfilling Prophecy.
Hal seperti ini sangat jamak terjadi dalam dunia per-trading-an. Terutama pada prediksi yang menggunakan indikator Analisa Teknikal (TA). Seringnya yang terjadi adalah proses Self Fulfilling Prophecy ini.
Mari kita ambil contoh pada indikator favorit Sekolah Saham, MACD (Moving Average Convergence-Divergence). Anggap mayoritas percaya pada sinyal MACD ini.
Maka ketika ada sinyal beli, otomatis mayoritas akan berada pada posisi beli karena percaya harga akan terus naik setelahnya. Pada berlomba membeli hingga otomatis harga akan terdorong naik.
Jadi naiknya harga bukan karena sinyal beli MACD itu benar melainkan karena mayoritas dalam posisi beli. Jadi walau sinyal beli tersebut sebenarnya salah, pada akhirnya dianggap benar karena harga memang naik. Self Fullfiling Prophecy.
Dan kejadian ini hampir merata pada semua indikator Analisa Teknikal (TA) yang ada. Ya, tidak apa-apa sih selama kita bisa memanfaatkannya untuk meraih keuntungan yang maksimal.
Mari pahami keterkaitan proses Self Fulfilling Prophecy dan manfaatkan secara maksimal dalam setiap trading yang kita lakukan.