Selama berkecimpung di bursa saham – khususnya Bursa Saham Indonesia (BEI), sering saya dengar keluhan-keluhan yang berkaitan dengan pengawas pasar modal – dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Keluhan-keluhan ini menarik perhatian saya karena ternyata ada sesuatu yang salah didalamnya. Jika terus dibiarkan, dapat menimbulkan kerugian bagi pribadi, kelompok, dan keseluruhan bursa saham.
Keluhan ini dialamatkan kepada pengawas pasar modal yang dirasa kurang memproteksi para pemodal retail. Pengawas pasar modal dirasa hanya memperhatikan kepentingan para pengusaha dan pemodal besar. Ini biasanya berkaitan dengan saham-saham yang ternyata menyimpan jebakan hingga menghabisi modal para retailer. Mari kita ambil contoh yang paling gampang, yakni Initial Public Offering (IPO).
Misalnya, sebuah perusahaan baru saja melakukan IPO dan karena prospektusnya bagus – juga banyak analis dan media yang meng-endorse saham tersebut – para retailer berlomba-lomba untuk membeli saham tersebut. Bahkan, pada pasar sekunder, saham tersebut terus diburu. Tidak heran jika harganya terus melejit. Seperti biasa, ada gula ada semut. Semakin banyaklah retailer mengerubungi saham tersebut. Mereka membelinya diharga berapapun. Harga terus naik.
Kemudian, terdengar kabar bahwa perusahaan tersebut tidak sebagus yang dibayangkan selama ini. Ada beberapa hal yang mencurigakan dalam laporan keuangannya. Bisnisnya tidak semenguntungkan seperti yang selama ini didengang-dengungkan. Biasanya, para pemodal besar telah memperoleh data ini terlebih dahulu. Mereka telah menjual saham tersebut sebelum para retailer menyadari bahwa perusahaan tersebut tidak sebagus yang dibayangkan.
Harga saham telah mulai bergerak turun. Para retailer pun panik, mereka berusaha menjual saham tersebut pada harga berapapun. Harga saham pun terus menukik tajam dan pada akhirnya diperdagangkan dibawah harga IPO nya. Tentu, ada beberapa retailer yang berhasil keluar dengan aman – bahkan menimakti keuntungan yang tidak sedikit. Namun, biasanya, mayoritas tidak berhasil menjual sahamnnya karena memang pembeli tidak ada.
Para retailer teresebut akan membukukan kerugian yang sangat besar. Bahkan banyak yang tergerus modalnya hingga puluhan persen. Emosi tentu ditingkat paling tinggi. Mereka merasa telah ditipu. Mereka mulai mencari siapa yang salah. Sebagai manusia biasa, tentu menyalahkan diri sendiri adalah hal paling terakhir melakukan. Mereka selalu akan mencari kesalahan diluar. Pengawas pasar modallah yang biasa ketibaan pulung.
Para retailer merasa pengawas pasar modal tidak cukup melakukan sesuatu untun melindungi mereka. Pengawas pasar modal dianggap lalai karena membiarkan sebuah perusahaan yang jelek menawarkan saham mereka ke publik. Walau mingkin memang benar pengawas pasar modal telah lalai dalam hal ini. Tetap saja, kesalahan terbesar adalah pada diri kita masing-masing. Kitalah yang sebenarnya tidak cukup berusaha untuk melindungi modal kita.
Kenapa kita tidak mengerjakan PR kita untuk meneliti perusahaan tersebut secara langsung? Alih-alih, malah kita percaya pada para analis dan berita-berita yang beredar. Jika memang kita tidak mampu untuk meneliti perusahaan tersebut, kenapa kita malah membeli sahamnya? Bukankah hukum pertama dalam berbisnis saham adalah jangan membeli saham yang kita tidak ketahui tentangnya. Jelas dalam hal ini kita telah melanggarnya.
Jadi tidak heran jika kita akhirnya mengalami kerugian. Kesimpulan yang dapat diambil dari kasus ini adalah jangan pernah mengharapkan orang lain untuk melindungi anda. Bahkan jika itu memang adalah tugas mereka – seperti pengawas pasar modal (OJK). Pada akhirnya, hanya kita sendirilah yang dapat diandallkan untuk melindungi modal kita. Jika ternyata modal kita habis, itu bukan salah siapa-siapa selain salah kita sendiri.